Silakan Copy dan sebarkan Content blog ini dengan syarat cantumkan sumber atau URL blog...thanx
Untuk masuk ke Blog, "KLIK" Salah Satu iklan di bawah ini 1X, lalu klik close 2X

Jumat, 18 November 2011

Baabullah, Salahuddin dari Indonesia Timur

Salahuddin Al Ayubi terkenal karena berhasil merebut kota Yerussalem dari kekuasaan pasukan Salib. Ketika memasuki kota itu, tak ada satupun orang-orang Kristen yang dilukai. Apa yang dilakukan Salahuddin ini jauh berbeda dengan apa yang dilakukan pasukan Salib ketika merebut Yerussalem. Mereka-pasukan Salib-membantai umat Islam yang ada di kota tersebut.
Kisah kemuliaan hati salahuddin itu ternyata juga ada di Indonesia.
Beliau adalah Sultan Baabullah, Salahuddin dari Indonesia itu. Ia lahir di Terrnate, 10 Februari 1528. Ia merupakan generasi ke-5 dari Sultan Zainal Abidin (1485-1500). Ayahnya, Sultan Khairun Jamil (1536-1570) meninggal dunia ketika bertempur melawan Portugis. Oleh Portugis, jantung Sultan Khairun Jamil diambil untuk diserahkan kepada Raja Muda Portugis di Goa India (1570). Sebelum meninggal Sultan Khairun memberikan nasihat kepada Babullah:
“Antara Islam dan Katolik terdapat jurang pemisah yang lebar. Sejarah kemenangan Islam di Andalusia (Spanyol), Khalifah Barat, membuat mereka membenci dan iri dengan kebesaran Kesultanan Ternate. Mereka menderita penyakit dendam kusumat serta permusuhan di mana saja setiap melihat negeri-negeri Islam, baik di Goa, Malaka, Jawa, dan kita di Maluku sini. Kalau kita di Ternate kalah, maka nasib kita akan sama dengan negeri-negeri Islam di Jawa, Sulawesi, dan Sumatera.”


Ternate Jaman Dulu

Sejak usia muda, Baabullah sudah mendapat pendidikan militer dan agama. Pendidikan militer didapatkannya dari Salahaka Sula dan Salahaka Ambon. Keduanya merupakan Panglima Kerajaan Ternate. Gemblengan yang penuh disiplin inilah yang telah membuat Baabullah dalam usia yang masih relatif masih muda diangkat menjadi Kaicil Paparangan (Panglima tertinggi angkatan perang).

Sementara itu, pendidikan agama diperoleh Baabullah para mubalig istana. Dari belajar agama Islam ini Baabullah mengetahui bahwa Islam adalah pembebas, yang akan melawan segala bentuk penindasan. Ia pelajari sejarah para sahabat Nabi. Ia ambil semangat mereka untuk menumbuhkan api perlawanan dalam hatinya guna menghadapi Portugis yang telah menjajah tanah leluhurnya.

Dua bekal sudah didapatkan Baabullah yaitu kemiliteran dan agama.

Pada usia 45 tahun Baabullah diangkat menjadi Sultan Ternate ke-25. Begitu berkuasa ia mengobarkan perang terhadap Portugis. Peperangan sengit pun terjadi. Dengan semboyan Ri Jou si to nonakogudu moju se to suba (Hanya kepada Allah tercurah harapan, meskipun ghaib tetap akan disembah karena Dia ada), Baabullah memimpin pasukannya untuk mengusir portugis dari Ternate. Di tengah dentuman meriam ia tebaskan pedangnya. Ia tak pernah surut ke belakang. Demi jihad di jalan Allah ia rela korbankan nyawa. Dengan syair berikut ini Perang Suci itu ia kobarkan:
Moro-moro se maku gise No kakoro siwange ma buluke Si wange ma sosiru Jo Mapolo sara sekore mie Ini formoni Bismillah!
(Jika panggilan jihad telah diumumkan wajiblah diteruskan pada rakyat di matahari naik dan rakyat di matahari masuk. Bersatulah dengan rakyat di angin selatan dan rakyat di angin utara, Bangkitlah berperang Dengan niat Bismillah!)

Baabullah memang telah mempersiapkan pasukannya dengan matang. Pasukan canga-canga-sebagian besar berasal dari suku Tobelo yang mempunyai keberanian yang luar biasa-telah dipersenjatai dengan panah api beracun. Pun, membekali Laskar Kolano dengan meriam hasil rampasan.

Selama berbulan-bulan pasukan Baabullah menggempur pertahanan Portugis. Dengan menguma mengumandangkan kalimat Allahuakbar, prajurit Baabullah berhasil memojokkan prajurit Portugis. Armada kora-kora Ternate mampu membuat kalang kabut korvet (kapal perang kecil) dan fregat (kapal perang ukuran sedang) Portugis. Ancaman kekalahan Portugis ketika Andalusia ditaklukkan pasukan Muslim membayang di benak prajurit-prajurit Portugis di Ternate yang mulai putus asa.


Kapal Perang Portugis

Melihat pasukannya terdesak, Gubernur Alvaro De Atteyda menawarkan perdamaian. Namun, Baabullah yang telah mengetahui kelicikan Portugis menolak tawaran itu. Perang pun terus berkobar selama lima tahun (1570-1575).

Selama lima tahun berperang, kondisi Portugis semakin terdesak. Mereka tidak mempunyai semangat lagi untuk mengadakan perlawanan. Rasa putus asa telah menggelayuti sanubari mereka. Dalam keadaan seperti ini, salib yang mereka bawa dari bapak-ibu mera di Portugis tidak berguna lagi, karena Ruh Suci seolah-olah telah meninggalkan mereka. Melihat kondidi prajuritnya yang sudah tak berdaya lagi, tepat satu hari sebelum peringatan hari kelahiran Isa Al-Masih, 24 Desember 1575, dengan berat hati Gubernur Nuno Pareira de Lacerda menaikkan bendera putih tanda menyerah. Ia menyerahkan dua simbol Kristenisasi dan Kolonialisasi di Ternate-benteng Santo Paulo atau kota Sen Hourra Del Rosario-pada Baabullah.

Berduyun-duyun dengan wajah menatap tanah, orang-orang Portugis meninggalkan Ternate. Mereka pergi dengan diiringi nyanyian Misa Kudus.

Terhadap orang-orang Portugis yang telah tak berdaya, Baabullah bersikap ksatria. Ia melakukan apa yang diperbuat Salahuddin, membiarkan orang-orang Kristen itu pergi dengan membawa harta benda mereka. Kepada para prajuritnya, Baabullah memerintahkan agar mengantar orang-orang Portugis ke kapal seperti mengantar saudara yang akan pergi jauh. Maka, sejarah mencatat tak ada satu pun orang-orang Portugis yang menyerah itu dilukai. Inilah ajaran yang dijalankan Baabullah dan prajuritnya sebagaimana yang diajarkan Rasulullah.

Kalau ingin menuruti dendam sebetulnya Baabullah bisa saja mewujudkannya saat itu. Akan tetapi, Baabullah bukanlah tipe manusia yang pendendam walaupun ayahnya telah dibunuh dengan keji. Ketika orang-orang Portugis siap meninggalkan Ternate, Baabullah menyampaikan pidatonya yang terkenal:
“Wahai joumbala (rakyat), ketahuilah bahwa ajaran Islam tidak memperbolehkan seorang Muslim mengambil keuntungan karena kelemahan musuhnya dalam perang si medan laga.”

Itulah sikap Salahuddin dari Indonesia Timur. Ia membebaskan tawanan yang tidak sanggup membayar tebusan, juga tawanan yang mendapat ratapan istrinya. Adakah sikap seperti ini pernah ditunjukkan pasukan Salib? Atau adakah sikap seperti ini ditunjukkan oleh para pemimpin kita di saat sekarang ini? Hanya manusia berhati bersih yang bisa bersikap seperti Baabullah :)

Sumber: Sembodo M. 2009. Pater Beek-Freemason dan CIA. Galan

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...